Jika dibandingkan dengan balai kota di wilayah Jawa lainnya, posisi Balai Kota Surabaya ini memang agak berbeda. Balai kota Surabaya tidak dekat dengan alun-alun dan juga tidak dekat dengan Masjid Agung. Hal ini masuk akal karena sejatinya balai kota Surabaya ini akan dibangun di sekitar Tugu Pahlawan, yang notabene dekat dengan alun-alun kota waktu itu, yaitu Alun-Alun Lor (sekarang Tugu Pahlawan) dan Alun-Alun Kidul (Alun-Alun Contong). Karena beberapa hal, Balai Kota Surabaya ini kemudian dibangun di wilayah Ketabang, tepatnya di Jl. Taman Surya no. 1. Gedung ini terletak di pertemuan Jl. Walikota Mustajab dan Jl. Jaksa Agung Suprapto.
Gedung utama dari bangunan yang dikenal pada jaman Belanda dengan nama Staadhuis te Soerabaia ini dibangun pada tahun 1923. Rencana pembangunan ini baru dilangsungkan setelah pengangkatan Walikota Surabaya kedua, yaitu G.J. Dickerman. Gedung dua lantai yang diarsiteki G.C. Citroen dan yang pengerjaannya dijalankan oleh H.V. Hollandshe Beton Mij ini baru ditempati sekitar tahun 1927. Biaya pembangunan termasuk perlengkapan-perlengkapannya menelan dana sekitar 1000 gulden.
Gedung utama ini memiliki panjang 102 m dan lebar 19 m. Konstruksinya terdiri dari tiang-tiang pancang beton yang ditanam, sementara dindingnya terbuat dari bata dan semen. Sebelumnya, atapnya yang terbuat dari rangka besi tersebut ditutup dengan sirap. Namun, seiring perkembangan, atap tersebut kini telah ditutup dengan genteng. Selain penggantian atap tersebut, gedung ini hampir tidak mengalami perubahan apapun sejak pembangunannya. Fungsinya pun tetap sama yaitu sebagai kantor Walikota Surabaya. Gedung Balai Kota Surabaya juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Walikota Surabaya yang dilantik setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah Radjiman Nasution. Berdasarkan Penpres 1959 no 16, walikota juga ditetapkan menjadi kepala daerah. Kotapraja Surabaya pun resmi menjadi kotamadya pada tahun 1965. Menurut Handinoto, dalam bukunya Arsitek G.C. Citroen dan Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1915-1940), kota Surabaya adalah milik G.C. Citroen. Itulah sebabnya, tak heran jika kita menemukan banyak sekali bangunan peninggalan Belanda di Surabaya yang diarsiteki oleh G.C. Citroen.
Berdasarkan catatan Handinoto, bangunan yang kita lihat sekarang adalah bagian belakang dari keseluruhan rancangan yang diajukan G.C. Citroen. Pada tahun 1915-1916, G.C. Citroen mengajukan rancangan pembangunan balai kota karena Surabaya waktu itu memang belum memiliki kantor pemerintahan. Lokasi awal yang dipilih adalah stadsiun (depan Tugu Pahlawan).
Karena terkendala biaya, rancangan ini belum bisa segera terwujud. Bahkan tahun 1920, terdapat perubahan pada rancangan karena pemindahan lokasi ke wilayah Ketabang. Barulah pada tahun 1925, rancangan tersebut dimulai pengerjaannya.
Balai Kota Surabaya ini dirancang dalam satu kompleks yang terdiri dari 4 massa bangunan, yang mengelilingi sebuah taman yang berada di tengahnya. Dan lagi-lagi, karena faktor biaya, hanya bagian belakang bangunan saja yang berhasil dibangun. Balai Kota Surabaya ini menjadi penanda perpindahan pemerintahan dari wilayah Kota Bawah (Benedenstad), yaitu sekitar Jl. Rajawali, Jl. Kembang Jepun, dan Ampel ke wilayah Kota Atas (Bovenstad).
Balai Kota Surabaya ini juga menjadi tempat penyambutan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhardfeesten di bulan Januari 1937 ketika berkunjung ke Surabaya.
Jika kalian kebetulan datang ke Balai Kota dengan mengikuti program seperti SHT atau SSCT, kalian kemungkinan akan berkesempatan untuk bisa melihat bungker yang ada di bagian belakang gedung utama. Meskipun bungker ini sudah dibuka secara umum sebagai tempat wisata heritage oleh Walikota Surabaya periode 2010-2015 Tri Rismaharini sejak 10 April 2011, kita tidak bisa seenaknya masuk ke tempat tersebut tanpa ada panduan dari seorang guide ini lah yang paling unik wisata balai kota Surabaya dan sekali lagi yang menginap di Garden Palace Surabaya hanya 5 menit saja dan untuk wisata kesana dengan berjalan kaki saja bisa tambah ilmu tentang sejarah juga lohh.
Bungker ini terdapat di sebuah ruang bawah tanah dengan pintu besi tebal, yang terletak di bawah tangga di dekat pintu belakang gedung (bagian utara). Untuk masuk ke dalam ruangan bungker, kita harus menapaki anak tangga yang memiliki kemiringan 30 derajat.
Bungker tersebut memiliki panjang 7 meter, lebar 4 meter, dan tinggi hampir 3 meter.
Bungker ini memiliki dua lorong persegi dengan ukuran 1m x 1m: lorong sebelah timur menuju rumah dinas walikota di Jl Sedap Malam dan lorong sebelah barat menuju halaman depan gedung balai kota. Masing-masing lorong ini tersembunyi di balik sebuah pintu besi. Di dekat kedua pintu besi tersebut, terdapat tangga besi yang menempel di dinding.
Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Dokumentasi BPCB Wilayah Kerja Jawa Timur, bangunan tersebut sebenarnya bukanlah bungker, tetapi hanyalah sebuah saluran air bawah tanah. Meskipun demikian, terlepas dari mana yang benar dan mana yang salah, keberadaan bangunan yang diduga bungker ini tetap merupakan sebuah cagar budaya dan warisan sejarah yang patut dilindungi. Dan kalian akan mendapatkan kesempatan yang sangat berharga jika pernah menjejakkan kaki di dalamnya.
Comments